Sayangku…
Ingatlah
pada tanggal 21 Januari 2008. Saat aku beserta saudaraku datang
kerumahmu. Aku terharu, Aku tak kuasa menahan rasa bahagia saat itu,
saat engkau menerima lamaranku. Kemudian dengan penantian panjang dan
melelahkan yg membuat aku semangat terus, mengadukan nasib pada illahi
rabbi dan berdoa seraya berkata kapan masa pernikahan itu akan hadir.
Akhirnya
waktu yg di tunggu-tunggu datang juga, yaitu pada tanggal 26 Juni 2008
merupakan langkah awal kehidupan baru kita dalam membangun rumah tangga,
hanya dengan pondasi tekad dan niat baik kita dalam berkeluarga.
Sayangku…
Aku
sangat bersyukur kepada Allah atas pernikahan ini, atas dipilihnya
engkau sebagai pendampingku atas dipilihnya engkau sebagai istriku. Aku
juga bersyukur bahwa Allah telah mempertemukan aku dengan mu untuk
menjalani sisa kehidupan ini bersamamu.
Pertama kali kita ketemu, aku
adalah orang asing bagimu, dan engkau adalah orang asing bagiku. Kalau
bukan karena mengharap ridha Allah atas pernikahan ini, tentu engkau
akan memilih orang dekat yg engkau ketahui latar belakangnya, atas
segala nikmat yg tercurah kepadamu maka engkau memilih aku sebagai
suamimu meskipun aku sangat asing bagimu, yang tak di kenal bentuk, rupa
dan nama sebelumnya, ( teu hir wa lahir cek sunda na mah).
Sayangku…
Engkau
merupakan sebagai tempat pelipur lara, sebagai tempat berkasih sayang,
sebagai tempat berkeluh kesah, sebagai tongkat penunjuk jalan, sebagai
pelita dalam kegelapan, sebagai embun dikala dahaga, sebagai tempat
berteduh dikala panas, sebagai selimut dikala dingin, sebagai peredam
duka dikala emosi, sebagai tempat berpangku mesra dikala gundah gulana
dan sebagai tempat mengadu dikala ragu dan buntu.
Aku
menyadari siapa diriku, maka aku tak ingin meminta lebih kepadamu. Aku
hanya ingin engkau seperti apa adanya, yg menangis dikala sedih, yg
marah dikala terluka dan tersenyum dikala bahagia. Aku tidak
menginginkan engkau sesempurna istri sang nabi, sebab aku sadar bahwa
aku pun tidak sesempurna beliau. Yang aku inginkan adalah bahwa kita
saling menjaga agar bisa meneladani sikap mereka.
Sayangku…
Aku
dan engkau akan tahu, kita akan menghadapi masa-masa yang akan datang
bersama-sama, masa yang kadang indah untuk dikenang, atau pahit untuk
diingat. Semua tergantung seberapa besar hati ini mau melapangkan jalan
untuk menerima apapun kondisi itu. Jika salah satu sudut hatimu pada
saat ini sudah terisi untukku, maka sudut-sudut yang lain isilah dengan
rabb pencipta alam semesta.
Jangan
kau isi semua sudut hatimu dengan diriku atau dengan yang lain kecuali
Tuhan mu, sebab aku tidak akan sanggup menjagamu bahkan menjaga hatimu,
hanya Allah lah yang bisa menjagamu, menjaga hati dan jiwamu, menjaga
fisik dan ragamu. Kamu mungkin bisa melupakan aku jika aku berbuat
kesalahan, kamu bisa saja membuang sudut hati tempatku berpijak dan
mengganti dengan orang lain yang sesuai dengan keinginanmu, tapi engkau
tidak akan bisa melupakan rabb pemilik hatimu. Dan aku lebih nyaman jika
hatimu dikuasai oleh pemilik alam semesta, ketimbang dikuasai oleh aku
atau apapun itu. Insya Allah kita akan menjalani tahap-tahap usia
pernikahan kita,
Sayangku…
Pada
tahun pertama perkawinan kita, aku dan kau telah memahami lebih dalam
perbedaan-perbedaan antara kita, sebab kita adalah dua orang asing yang
harus mengayuh perahu bersama, jika kita tidak bisa bekerja sama, aku
khawatir perahu ini tenggelam ketika baru saja kita meninggalkan
daratan.
Masa-masa
yg menggetarkan jiwa, menyenangkan hati dan membuat orang normal
seperti orang kekurang akal, masa yang hakikatnya seperti berjalan
diatas titian besi panas hingga mampu menjerumuskan mereka yg tidak
sabar akan datangnya masa bahagia itu. Tibanya masa itu merupakan rahmat
yg tiada tara bagi para hamba yang bersyukur, yang menyadari bahwa
pernikahan itu adalah sebuah perjuangan dan bukanlah sebuah permainan.
Sayangku…
Pada
tahun kedua, saat itu tanggal 5 Juli 2009 anak pertama kita lahir dan
tanggung jawab kita sebagai orangtua baru dimulai. Pada saat itu
kehidupan kita masih prihatin. Tapi dengan adanya anak kita yang lucu
mampu menghapus semua duka lara, letih dan lelah serta rasa capek dan
lelah karena tugas kita.
Sayangku…
Pada tahun ketiga dan keempat, saat itu aku memberanikan diri
Jika
engkau mengharap harta dariku, ketahuilah aku hanyalah seorang suami
biasa, yg penghasilannya dapat engkau lihat sendiri. Aku juga bukan
pengusaha yg mungkin bisa mewujudkan semua impianmu dengan uang. Tapi
jika engkau berpendapat bahwa harta dapat membawa kita kepada syurga,
atau kefakiran bisa membawa kepada kekufuran, aku setuju dengan mu. Tapi
aku bukanlah Abdurrahman bin auf, atau Abu bakar shiddiq atau ustman
bin affan, yg dengan hartanya bisa membawa mereka ke pintu syurga. Aku
mungkin hanya bisa menjadi Abudzar al giffari, yg hidup dalam
kesendirian dan mati dalam kesendirian. Hanya iman yg ia bawa dan istri
yg setia yg menemani pada saat-saat terakhirnya.
Justru
dengan keberkahan yg insya Allah hadir bersamamu, kita bisa
bersama-sama mengumpulkan harta sebagai bekal untuk akhirat kita. Justru
dengan pernikahan ini semoga Allah membukakan pintu-pintu rezeki dari
arah yg kita tidak sangka-sangka.
Sayangku…
Aku berpesan kepadamu,
Pada
tahun kelima hingga kesepuluh, mungkin kita akan didera oleh kondisi
keuangan karena saat itu kebutuhan kita akan meningkat, anak beranjak ke
sekolah dan kebutuhan rumah tangga akan meningkat. Aku memohon
kepadamu, bantu aku dengan doa-doamu, dengan dhuha dan tahajudmu dengan
zikir dan shodaqohmu, semoga masa-masa sulit segera pergi hingga Allah
memenuhi janjinya kepada kita.
Pada
tahun kesepuluh hingga keduapuluh, mungkin Allah telah mengalirkan
rezeki yang deras kepada kita, kehidupan mulai mapan, kesejahteraan
mulai datang, dan anak mulai dewasa. Aku memohon kepadamu, bantu aku
menguatkan batin dan jiwaku agar aku tidak terperosok kedalam jurang
kenistaan, karena godaan dunia berupa harta tahta dan wanita. Sadarkan
aku tentang umur dan usiaku yang mulai menua juga temperamenku yang
mulai meninggi dimakan usia. Bantu aku bersahabat dengan anak-anak kita,
berikan mereka pengertian tentang arti kehidupan sesungguhnya, karena
sebentar lagi mereka akan memilih jalannya masing-masing.
Pada
tahun ketigapuluh dan sesudahnya, aku tak tahu apakah kita akan sampai
disitu, yang jelas kita akan kembali berdua, anak-anak lelaki kita akan
pergi dan anak perempuan akan mengikuti suaminya. Kita hanyalah sepasang
manusia renta yang tak bisa melawan takdirnya. Kuingin saat itu,
hari-hari kita hanya dipenuhi zikir dan tasbih, dipenuhi munajat dan
doa, seraya menunggu utusan Tuhan datang menjemput.
Aku
ingin engkau dan aku tetap menjadi pasangan didunia dan akhirat, jadi
kumohon kita saling menjaga, saling memberi peringatan dan tausiah agar
tujuan pernikahan ini sesuai dengan yang kita harapkan. Terakhir aku
ingin tulisan blog ini menjadi prasasti cinta kita, yang tertanam jauh
dilubuk hati, sehingga jika terjadi goncangan, kita selalu kembali ke
komitmen awal pernikahan.
Salam bahagia
Suamimu.
0 komentar:
Posting Komentar